Situasi pendidikan di Suriah mengalami tantangan besar akibat konflik berkepanjangan yang belum kunjung berakhir. Selain kehancuran infrastruktur sekolah di banyak wilayah, persoalan yang lebih pelik muncul ketika dua sistem pendidikan berjalan bersamaan di satu negara. Di wilayah utara dan timur Suriah, Pemerintahan Otonom Demokratik Suriah Utara dan Timur (AANES) menjalankan sistem pendidikan tersendiri, sementara pemerintah Damaskus mempertahankan sistem nasionalnya. Perbedaan ini tak sekadar soal kurikulum, tetapi juga berdampak langsung pada biaya, legitimasi ijazah, dan masa depan para pelajar.
Di wilayah yang dikuasai AANES, otoritas lokal memiliki kebijakan pendidikan mandiri dengan kurikulum yang disesuaikan dengan nilai-nilai dan identitas lokal, termasuk bahasa Kurdi, Arab, dan Asyur. Namun, banyak orang tua yang tetap menginginkan anak-anak mereka mengikuti sistem pendidikan Damaskus karena ijazahnya diakui secara nasional dan internasional. Kondisi ini memunculkan kebingungan di kalangan pelajar dan orang tua, terutama saat musim ujian tiba.
Pemerintah AANES baru-baru ini mengeluarkan pernyataan resmi mengenai prosedur pendaftaran ujian pendidikan dasar bagi siswa yang mengikuti kurikulum Damaskus. Dalam pernyataan yang diterbitkan 10 Juni 2025 itu, disebutkan bahwa siswa yang ingin mengikuti ujian Damaskus di wilayah utara dan timur Suriah harus membayar biaya administrasi sebesar 22.500 pound Suriah. Kebijakan ini sontak menuai keluhan dari masyarakat karena sebelumnya pendidikan di wilayah ini digratiskan oleh AANES.
Keputusan menarik biaya ini dianggap bertolak belakang dengan prinsip yang selama ini dijunjung pemerintahan otonom tersebut. Banyak warga yang menilai, di tengah kondisi ekonomi yang makin sulit akibat perang, keputusan memungut biaya administrasi akan memberatkan keluarga-keluarga miskin. Beberapa kelompok masyarakat sipil pun mulai menyuarakan keberatan dan mendesak agar biaya itu dihapuskan.
Selain soal biaya, tantangan lain muncul terkait perbedaan kurikulum dan materi ajar. Kurikulum AANES menitikberatkan pada sejarah, budaya lokal, dan pengajaran multibahasa. Sementara itu, kurikulum Damaskus masih terpusat dengan materi pelajaran yang dikendalikan langsung dari ibu kota, dengan sedikit ruang untuk variasi lokal. Pelajar yang berpindah antar wilayah harus menyesuaikan diri dengan perbedaan materi yang cukup signifikan.
Pusat-pusat pendaftaran ujian yang ditunjuk pun tersebar di berbagai distrik seperti Hasakah, Qamishli, Deir ez-Zor, Raqqa, Al-Tabqa, dan Sarrin. Pelajar di wilayah-wilayah ini diharuskan membawa dokumen resmi seperti KTP, akta lahir, atau buku keluarga saat mendaftar. Dokumen salinan tidak diterima, yang menambah beban bagi warga yang kehilangan dokumen akibat perang.
Tak hanya itu, pelajar yang baru saja pindah ke wilayah AANES dari daerah lain di Suriah pun menghadapi aturan berbeda. Meski mereka dibebaskan dari biaya pendaftaran, tetap saja mereka harus membawa bukti pendaftaran atau kartu ujian dari wilayah sebelumnya. Proses ini menambah kerumitan bagi keluarga pengungsi internal yang sering berpindah akibat konflik.
Para pendidik di wilayah AANES menyebut situasi ini sebagai "krisis pendidikan dalam dua dunia." Di satu sisi mereka ingin mempertahankan sistem pendidikan otonom yang mengedepankan budaya lokal, di sisi lain mereka tidak bisa menutup mata atas kebutuhan warga terhadap ijazah nasional yang diakui luas. Ketiadaan kesepakatan antara Damaskus dan AANES membuat masalah ini berlarut-larut.
Sejumlah keluarga bahkan memilih menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah informal atau madrasah tradisional karena lebih terjangkau dan tidak terlalu terikat sistem. Namun, konsekuensinya, anak-anak ini sulit bersaing saat melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di wilayah Damaskus atau luar negeri.
Situasi pendidikan di Suriah saat ini menjadi gambaran nyata betapa konflik bersenjata bisa membelah tatanan sosial hingga ke ruang-ruang kelas. Para pelajar di wilayah timur dan utara harus menghadapi konsekuensi politik yang tak mereka pilih, hanya karena letak geografis dan kebijakan pemerintahan setempat.
Di sisi lain, Pemerintah Damaskus tetap berusaha mempertahankan kontrol atas pendidikan nasional di seluruh wilayah Suriah. Melalui ujian nasional, pemerintah pusat berupaya menjaga eksistensi otoritasnya, meski banyak wilayah secara de facto telah lepas dari kendalinya.
Kondisi ini diperparah dengan kesenjangan fasilitas pendidikan. Banyak sekolah di wilayah timur Suriah rusak berat atau tidak layak pakai. Guru-guru pun kekurangan pelatihan dan sumber daya. Tak jarang, mereka harus menyesuaikan diri mengajar dua sistem sekaligus dalam satu lingkungan yang sama.
Para pengamat pendidikan menyebutkan, jika situasi ini terus dibiarkan, maka akan muncul generasi muda dengan standar pendidikan yang timpang. Mereka yang mengikuti sistem Damaskus memiliki peluang lebih luas untuk berkarier dan melanjutkan studi ke luar negeri, sementara lulusan sistem AANES masih menghadapi keterbatasan pengakuan resmi.
Organisasi-organisasi kemanusiaan yang bergerak di bidang pendidikan di Suriah pun menghadapi dilema serupa. Mereka harus menyesuaikan program dengan kebijakan lokal, namun tetap berupaya agar anak-anak Suriah bisa mendapatkan pendidikan layak tanpa diskriminasi administratif dan politik.
Di tengah situasi sulit ini, keluarga-keluarga di Suriah Timur berharap adanya kesepakatan antara Damaskus dan AANES untuk menyatukan sistem pendidikan atau setidaknya saling mengakui hasil ujian dan ijazah masing-masing. Sebab, bagi mereka, pendidikan bukan soal politik, tetapi soal masa depan anak-anak.
Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda kompromi di bidang pendidikan antara kedua belah pihak. Setiap wilayah tetap bertahan dengan kebijakan masing-masing. Sementara itu, para pelajar di Suriah Timur harus terus bergulat dengan dua sistem yang memecah kehidupan belajar mereka.
Konflik pendidikan di Suriah bukan sekadar soal kurikulum atau biaya administrasi, melainkan soal siapa yang berhak menentukan masa depan anak-anak di negeri yang dilanda perang. Tanpa solusi terpadu, dunia pendidikan Suriah terancam makin tercerai-berai di bawah bayang-bayang dua otoritas yang belum berdamai.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.