Selamat Datang..

Selasa, 30 Desember 2025

Pertemuan Al-Sharaa dan SDF Tertunda, Suriah Terjebak di Persimpangan Jalan

Pertemuan yang dijadwalkan antara Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dan pemimpin SDF Kurdi, Mazloum Abdi, pada akhir Desember 2025, mendadak ditunda. Penundaan ini menimbulkan spekulasi luas di kalangan analis politik, mengingat momentum penting bagi stabilisasi Suriah timur. Pengamat memperkirakan bahwa Al-Sharaa khawatir kesepakatan dengan SDF dapat melemahkan posisinya sebagai presiden, terutama jika harus membagi kekuasaan secara signifikan dengan Kurdi.

Sejak naik ke kursi kepresidenan pada Desember 2024, Al-Sharaa telah mengalami transformasi dari pemimpin Idlib di pemerintahan penyelamat (SG) menjadi figur politik yang diakui secara internasional. Kunjungan resminya ke Gedung Putih pada November 2025 menandai pengakuan global atas pemerintahannya. Meski begitu, kekuatan SDF yang menguasai wilayah timur Suriah membuat Sharaa harus berhati-hati dalam mengambil keputusan politik yang bisa mengubah keseimbangan kekuasaan.

Pernyataan dalam video analisis yang beredar menyebut “Al-Sharaa akan berakhir” jika kesepakatan tercapai atau gagal. Makna “berakhir” di sini bukan kematian fisik, tetapi hilangnya dominasi tunggal atas pemerintahan. Jika sepakat dengan SDF, Sharaa harus mengintegrasikan pasukan Kurdi ke militer nasional dan mengakui hak konstitusional warga Kurdi, sehingga agenda politik eksklusif kelompoknya akan terbatas.

Jika kesepakatan ditolak, risiko yang lebih besar muncul dari kemungkinan perang terbuka dengan SDF. Narator dalam video menyebut bahwa SDF, dengan basis kuat di kalangan Arab Sunni dan Kurdi, memiliki potensi menggulingkan Sharaa secara militer. Ini menegaskan paradoks yang dihadapi presiden: kompromi berarti kehilangan kendali tunggal, penolakan berarti menghadapi ancaman kekuatan militer yang siap menentang pemerintah pusat.

Kesepakatan awal antara Al-Sharaa dan Mazloum Abdi yang ditandatangani pada Maret 2025 mencakup tiga poin penting: gencatan senjata total, integrasi SDF ke institusi negara, dan pengakuan hak konstitusional warga Kurdi. Meski telah ada kesepakatan formal, pelaksanaan langkah-langkah tersebut bersifat sensitif dan membutuhkan koordinasi politik yang hati-hati agar tidak menimbulkan ketegangan baru.

Dalam konteks politik domestik, Al-Sharaa menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok politik dan militer yang tidak puas dengan dominasi Kurdi. Penundaan pertemuan memungkinkan presiden menilai risiko dan mencari strategi untuk menjaga stabilitas tanpa melemahkan otoritas pemerintah secara drastis.

Selain itu, faktor internasional turut memengaruhi keputusan penundaan. Negara-negara yang mengamati dinamika Suriah timur ingin memastikan bahwa kesepakatan dengan SDF tidak melemahkan aliansi baru yang dibentuk Al-Sharaa dengan kekuatan global, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.

Dalam wilayah timur yang dikuasai SDF, populasi Arab Sunni dan Kurdi memiliki aspirasi berbeda. Integrasi pasukan SDF ke dalam struktur militer nasional bukan sekadar masalah administratif, tetapi juga simbol politik yang bisa memicu ketidakpuasan lokal jika tidak ditangani dengan bijaksana.

Al-Sharaa juga mempertimbangkan legitimasi internasional. Menjaga keseimbangan antara tuntutan SDF dan kepentingan kelompok Arab Sunni yang selama ini mendukungnya menjadi tantangan utama. Kegagalan mengelola keseimbangan ini bisa merusak citra pemerintahannya di mata dunia.

Pertemuan yang tertunda ini menunjukkan betapa kompleksnya situasi Suriah pasca jatuhnya rezim Assad. Struktur kekuasaan baru menuntut kompromi politik, adaptasi terhadap milisi lokal, dan kemampuan diplomasi yang tinggi. Sharaa perlu menegaskan posisinya sambil menjaga hubungan baik dengan SDF.

Skenario kompromi melibatkan pengakuan otonomi Kurdi dalam beberapa aspek administrasi dan keamanan. Hal ini bisa mengurangi ketegangan jangka pendek, tetapi bagi Al-Sharaa berarti mengurangi ruang gerak politiknya dan membatasi dominasi kelompok asalnya.

Skenario konflik, di sisi lain, akan menimbulkan risiko besar bagi keamanan Suriah timur. SDF memiliki basis militer yang kuat dan dukungan lokal signifikan. Perang terbuka kemungkinan akan merusak kota-kota dan memicu krisis kemanusiaan baru, yang dapat mengurangi dukungan internasional terhadap pemerintah pusat.

Media lokal dan internasional memperhatikan ketegangan ini dengan cermat. Setiap langkah Al-Sharaa dipantau untuk melihat apakah ia akan mengambil kompromi atau menegakkan otoritas penuh. Keputusan presiden bisa menjadi penentu arah politik Suriah selama beberapa tahun ke depan.

Beberapa analis menilai bahwa video yang menyatakan “Al-Sharaa akan berakhir” dimaksudkan untuk memberi peringatan politik kepada presiden. Pernyataan ini mencerminkan tekanan dari SDF sekaligus mengingatkan publik dan pihak internasional tentang kekuatan Kurdi.

Al-Sharaa, di sisi lain, menekankan pentingnya stabilitas nasional. Ia telah menginstruksikan stafnya untuk menyiapkan skema integrasi SDF secara bertahap, dengan tujuan mengurangi risiko gesekan militer dan politik.

Ketidakpastian ini memengaruhi administrasi lokal di wilayah timur. Aparat pemerintah pusat harus bekerja sama dengan otoritas SDF untuk memastikan layanan publik tetap berjalan, termasuk distribusi bantuan dan pengelolaan keamanan.

Dalam beberapa bulan terakhir, terjadi dialog internal yang intens antara tim Al-Sharaa dan penasihat keamanan. Strategi politik yang hati-hati menjadi fokus utama, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi legitimasi pemerintah dan penerimaan internasional.

Kesepakatan dengan SDF juga menyangkut isu ekonomi. Integrasi wilayah Kurdi ke dalam administrasi nasional akan memengaruhi pengelolaan sumber daya dan anggaran militer, sehingga presiden harus berhati-hati agar tidak menimbulkan ketidakseimbangan fiskal.

Di sisi masyarakat, opini publik terpecah. Beberapa kelompok Arab Sunni melihat kesepakatan sebagai peluang perdamaian, sementara kelompok Kurdi menuntut pengakuan penuh atas hak-hak mereka. Al-Sharaa harus menyeimbangkan kedua kepentingan ini agar stabilitas politik tidak terganggu.

Secara keseluruhan, penundaan pertemuan ini merupakan refleksi dari kompleksitas politik Suriah pasca Assad. Al-Sharaa berada pada persimpangan antara kompromi untuk stabilitas dan mempertahankan kekuasaan penuh.

Akhirnya, keputusan tentang kesepakatan dengan SDF akan menjadi ujian kemampuan Ahmed al-Sharaa dalam memimpin Suriah yang beragam dan rentan konflik. Penundaan ini menegaskan bahwa setiap langkah politik harus diukur dengan cermat, dengan memperhitungkan konsekuensi militer, sosial, dan internasional.

Situasi ini menempatkan Suriah di titik krusial. Masa depan pemerintahan Al-Sharaa bergantung pada bagaimana ia mengelola integrasi SDF, menjaga legitimasi internasional, dan meredam potensi konflik internal yang bisa memicu ketidakstabilan baru.

Dengan ketegangan yang masih tinggi hingga akhir 2025, dunia menanti keputusan Al-Sharaa. Penundaan pertemuan ini memberi waktu bagi presiden untuk menilai risiko, menyiapkan strategi politik, dan mengamankan dukungan domestik maupun internasional sebelum mengambil langkah final.

Ini adalah momen penting bagi Suriah modern: keberhasilan Al-Sharaa dalam menyeimbangkan kekuatan SDF, aspirasi masyarakat lokal, dan tekanan internasional akan menentukan arah stabilitas negara selama dekade berikutnya.

Skenario

Pertemuan antara Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa dengan pemimpin SDF, Mazloum Abdi, ditunda pada akhir Desember 2025. Penundaan ini bukan berarti dibatalkan, melainkan mempertahankan status quo di wilayah timur Suriah. Dengan keadaan yang tetap stabil sementara, tidak ada alasan kuat bagi SDF maupun aliansi milisi separatis Druze dan Alawite untuk melancarkan invasi ke Damaskus. Situasi ini memberi waktu bagi kedua belah pihak untuk menilai risiko tanpa memicu konfrontasi langsung di ibukota.

Meski pertemuan ditunda, SDF dan sekutunya tetap memiliki kemampuan untuk mencari celah politik atau militer di perbatasan guna memancing reaksi Damaskus. Jika pemerintah pusat terpancing melakukan pembelaan diri, SDF dkk dapat menggunakan alasan bahwa Damaskus telah menzalimi minoritas sebagai alibi untuk melakukan aksi militer lebih luas, termasuk kemungkinan merebut Damaskus. Strategi ini menjadi daya tawar bagi SDF untuk menegosiasikan posisi politik mereka dengan lebih kuat.

Dukungan penuh dari pasukan Druze separatis Al Hajri, termasuk perlindungan serangan udara dari Israel sebagaimana serangan Tel Aviv ke Damaskus usai Al Hajri membantai Arab Badui belakangan lalu, menambah kekuatan strategis SDF dan sekutunya. Kombinasi pasukan darat dan dukungan udara membuat kemampuan ofensif mereka cukup signifikan, meski belum menargetkan langsung serangan besar ke ibukota. Hal ini membuat status quo menjadi pilihan aman bagi kedua belah pihak hingga pertemuan formal bisa dilaksanakan.

Selain itu, kualitas dan kuantitas pasukan pemerintah Suriah yang baru dibangun belum mencapai target optimal. Struktur militer baru masih dalam proses integrasi berbagai unit lokal dan SDF, sehingga kesiapan tempur secara keseluruhan belum memadai untuk menghadapi konflik besar. Damaskus butuh minimal satu juta pasukan sebelum SDF berintegrasi. Kondisi ini membuat Damaskus lebih berhati-hati dalam merespons setiap provokasi di perbatasan timur. Apalagi tujuan Damaskus melakukan negosiasi adalah untuk meningkatkan keamanan bukan untuk memberi ruang SDF dkk menghancurkan Suriah dari dalam.

Dengan kondisi ini, penundaan pertemuan berfungsi sebagai pengatur ritme politik dan militer. SDF dan aliansinya tetap memonitor situasi, sementara pemerintah pusat memanfaatkan waktu untuk memperkuat pasukan dan strategi pertahanan. Status quo saat ini menjaga keseimbangan kekuasaan, mencegah eskalasi langsung, dan memberi ruang diplomasi sebelum langkah-langkah politik atau militer lebih lanjut diambil.

Share this:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

 
Back To Top
Distributed By Blogger Templates | Designed By OddThemes