Dalam sejarah politik modern, ada hal-hal yang tak pernah tercatat dalam konstitusi tetapi seolah berlaku sebagai aturan tidak resmi. Amerika Serikat, Suriah, dan Indonesia, tiga negara dengan latar budaya yang sangat berbeda, ternyata punya pola semacam itu. Tradisi tak tertulis ini berkaitan dengan siapa yang berhak atau dianggap layak memimpin, serta kelompok mana yang mesti dilibatkan dalam koalisi kekuasaan.
Di Amerika Serikat, sejak George Washington hingga George W. Bush, kursi presiden hanya diisi oleh laki-laki kulit putih. Konstitusi hanya mengatur syarat usia, status warga negara, dan lama tinggal, namun dalam praktiknya tradisi sosial menjadikan kepemimpinan seolah eksklusif bagi kelompok kulit putih. Baru pada 2008, tradisi itu pecah ketika Barack Obama, seorang keturunan Afrika, berhasil memenangkan pemilu dan menjadi presiden kulit hitam pertama.
Kemenangan Obama menandai berakhirnya sebuah persepsi bahwa presiden AS harus kulit putih. Meski begitu, bias rasial tetap hadir dalam politik Amerika. Serangan identitas terhadap Obama seringkali muncul, mulai dari keraguan atas kewarganegaraannya hingga tudingan terkait agamanya. Semua ini menunjukkan betapa kuatnya bayangan tradisi tak tertulis itu.
Sementara itu di Suriah, cerita berbeda namun sama-sama menyangkut kelompok dominan. Sejak Hafez al-Assad berkuasa pada 1971, kekuasaan cenderung memberi perlindungan dan keuntungan khusus bagi komunitas Alawite, minoritas yang menjadi basis keluarga Assad. Tidak ada aturan resmi, tetapi praktik politik dan militer menunjukkan dominasi Alawite di posisi strategis.
Kekuatan rezim Assad banyak bertumpu pada loyalis Alawite di militer dan intelijen. Hal ini menjamin stabilitas internal sekaligus menciptakan rasa aman bagi komunitas yang sebelumnya mengalami diskriminasi. Namun konsekuensinya, rezim Assad kerap dituding sebagai pemerintahan yang berpihak pada satu kelompok tertentu, meski di permukaan mereka mengusung ideologi nasionalisme Arab dan sekularisme.
Privilegi tak tertulis bagi Alawite menjelaskan mengapa konflik Suriah sejak 2011 sering dilihat dalam kacamata sektarian. Mayoritas Sunni merasa terpinggirkan, sementara rezim mempertahankan basis kekuasaan dengan dukungan komunitas minoritas. Ini adalah contoh bagaimana politik bisa berjalan di luar konstitusi, tetapi tetap kokoh melalui jaringan loyalitas.
Indonesia juga memiliki cerita serupa meskipun berbeda bentuk. Sejak era kemerdekaan, mayoritas presiden Indonesia berasal dari Jawa. Soekarno, Soeharto, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Joko Widodo semuanya berdarah Jawa. Tradisi ini tidak tertulis, tetapi dalam praktik politik, calon dari Jawa sering dianggap lebih mudah diterima oleh mayoritas pemilih.
Kekuatan demografi Jawa menjadi faktor utama. Pulau Jawa adalah pusat populasi terbesar di Indonesia, sekaligus pusat ekonomi dan birokrasi sejak masa kolonial. Dengan basis suara yang besar, calon presiden dari Jawa dianggap punya modal elektoral yang kuat. Hal ini menjadikan tradisi tak tertulis itu bertahan dari generasi ke generasi.
Di sisi lain, ada juga kecenderungan bahwa koalisi presiden selalu melibatkan tokoh-tokoh Batak Toba Kristen, khususnya dari Sumatra Utara. Meski tidak resmi, langkah ini sering dipandang strategis untuk menunjukkan kebhinekaan. Keterlibatan mereka menambah legitimasi pluralisme dalam politik nasional, meski ada Mandailing, Pakpak, Karo, Simalungun atau Batak Toba yang Muslim.
Soekarno kerap melibatkan tokoh Batak dalam jaringan politik dan militer. Soeharto juga mengandalkan sejumlah jenderal Batak Kristen dalam menjaga stabilitas rezimnya. Hingga masa reformasi, pola serupa berlanjut, di mana peran tokoh Batak Kristen selalu hadir dalam lingkar kekuasaan, baik di kabinet maupun parlemen.
Praktik ini membuat politik Indonesia seolah punya formula tak tertulis: presiden dari Jawa, dan koalisi harus menampilkan warna Batak Kristen. Walaupun tidak berlaku mutlak, pola itu sudah cukup sering terjadi sehingga dianggap sebagai bagian dari tradisi politik.
Perbandingan antara Amerika, Suriah, dan Indonesia memperlihatkan bagaimana tradisi tak tertulis bisa terbentuk karena sejarah, demografi, maupun kebutuhan stabilitas. Di AS, dominasi kulit putih bertahan berabad-abad karena warisan kolonialisme dan rasisme struktural. Di Suriah, dominasi Alawite muncul dari kalkulasi politik minoritas yang ingin bertahan di tengah mayoritas.
Sedangkan di Indonesia, tradisi itu terbentuk karena demografi dan politik representasi. Jawa dengan penduduk terbanyak dianggap paling aman sebagai basis calon presiden, sementara Batak Kristen menjadi simbol pluralisme untuk menjaga kesan inklusif di tengah keberagaman bangsa. Tradisi semacam ini memperlihatkan bahwa politik tidak selalu digerakkan oleh aturan resmi.
Meski demikian, ketiga negara juga menunjukkan bahwa tradisi itu bisa berubah. Obama mematahkan anggapan presiden harus kulit putih. Di Suriah, perang sipil membuka wacana baru meski rezim Assad masih bertahan. Di Indonesia, bukan mustahil di masa depan muncul presiden dari luar Jawa jika dinamika politik dan peta pemilih berubah.
Pertanyaan besarnya adalah seberapa kuat tradisi tak tertulis ini bertahan di masa depan. Apakah ia hanya refleksi dari situasi historis, atau akan terus membentuk pola politik berikutnya? Jawaban itu bergantung pada bagaimana masyarakat di masing-masing negara memaknai kepemimpinan dan representasi.
Tradisi tak tertulis memang tidak tercatat dalam konstitusi, tetapi bisa lebih kuat dari hukum. Ia hidup dalam persepsi, kebiasaan, dan praktik kekuasaan sehari-hari. Begitu pola itu diulang berkali-kali, ia berubah menjadi keyakinan sosial yang sulit dipatahkan.
Namun sejarah juga membuktikan bahwa perubahan tetap mungkin. Tradisi tak tertulis hanyalah konstruksi sosial, bukan nasib. Dengan kesadaran dan dinamika politik baru, masyarakat bisa menulis ulang siapa yang berhak memimpin, tanpa harus terikat oleh kebiasaan lama.
Tiga negara ini, dengan latar yang berbeda, sesungguhnya sedang menunjukkan satu pelajaran sama. Bahwa politik bukan hanya soal konstitusi, tetapi juga soal tradisi tak tertulis yang hidup di baliknya. Dan tradisi itu, cepat atau lambat, akan selalu diuji oleh perubahan zaman.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.